Sabtu, 18 Oktober 2025

Sejarah Gampong Padang Sikabu di Kuala Batee

Transformasi Sosial-Historis Gampong Padang Sikabu:
Peran dalam Kerajaan Kuala Batee dan Perkembangannya
pada Era Modern


Oleh:
Syahrul Ramadhan, S.Pd.I., Gr
(Guru SKI pada MAS Kuala Batee Kab. Aceh Barat Daya)

Abstrak
Artikel ini membahas transformasi sosial dan historis Gampong Padang Sikabu yang terletak di Kecamatan Kuala Batee, Kabupaten Aceh Barat Daya. Sebagai bagian dari wilayah Kerajaan Kuala Batee, Padang Sikabu memiliki peranan penting dalam sistem pemerintahan tradisional dan pembentukan identitas budaya masyarakat Aceh pesisir barat. Kajian ini menggunakan pendekatan deskriptif-historis dengan analisis kualitatif terhadap sumber-sumber lokal, tradisi lisan, serta publikasi kontemporer. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Padang Sikabu bukan hanya pusat kehidupan sosial dan keagamaan masyarakat Kuala Batee, tetapi juga cerminan dinamika hubungan antara adat, agama, dan kepemimpinan lokal yang terus berkembang hingga masa kini. Kehadiran Muhammadiyah serta perubahan sistem pemerintahan desa turut memperkaya corak modernisasi di wilayah ini tanpa menghapus akar budaya aslinya.
Kata kunci: Padang Sikabu, Kerajaan Kuala Batee, transformasi sosial, adat Aceh, Muhammadiyah.

Pendahuluan
Gampong Padang Sikabu merupakan salah satu desa tua di Kecamatan Kuala Batee, Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya), Provinsi Aceh. Secara geografis, wilayah ini termasuk bagian dari pesisir barat Aceh yang memiliki sejarah panjang dalam perkembangan kerajaan-kerajaan kecil seperti Kerajaan Kuala Batee, Susoh, dan Meulaboh.

Nama Padang Sikabu berasal dari istilah lokal yang mengacu pada hamparan tanah datar yang ditumbuhi pohon kabu, sejenis pohon khas rawa pesisir yang menjadi penanda topografi wilayah tersebut. Nama ini juga mencerminkan karakter ekologi dan ekonomi masyarakatnya yang dahulu bergantung pada pertanian lahan basah dan hasil alam.

                Baca juga: Sejarah Kerajaan Kuala Batee di Aceh Barat Daya

Dalam konteks historis, Padang Sikabu berperan sebagai salah satu gampong dalam mukim Sikabu, yang termasuk dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Kuala Batee. Struktur pemerintahan tradisional kala itu menempatkan keujruen chik, imeum mukim, dan keuchik sebagai figur penting dalam tata kelola sosial.

Peranan Padang Sikabu tidak hanya administratif, tetapi juga kultural, karena menjadi tempat berkembangnya tradisi keagamaan dan adat yang kuat, seperti Khanduri Hudep, Khanduri Maulid, dan Turun Tanah, yang menjadi simbol sinergi antara Islam dan budaya Aceh.

Kerangka Teoretik
Penelitian ini berlandaskan teori transformasi sosial-historis, yang menurut Anthony Giddens (1990) dipahami sebagai proses perubahan struktur sosial melalui interaksi agen dan institusi dalam ruang dan waktu. Dalam konteks Aceh, transformasi sosial seringkali berakar pada integrasi antara adat, agama (Islam), dan kepemimpinan lokal, sebagaimana ditegaskan oleh Snouck Hurgronje (1906) dan diperbarui dalam kajian Reid (2005) tentang masyarakat pesisir Nusantara.
 

Pembahasan
1. Padang Sikabu dalam Struktur Kerajaan Kuala Batee
Pada masa kerajaan, Mukim Sikabu merupakan salah satu unit pemerintahan penting di bawah Kerajaan Kuala Batee. Setiap mukim memiliki peran strategis dalam mempertahankan stabilitas wilayah dan kedaulatan hukum adat.

Padang Sikabu sebagai salah satu gampong inti berfungsi sebagai pusat pertanian, pengelolaan sumber air, serta tempat berkumpulnya masyarakat untuk kegiatan sosial-keagamaan. Bukti-bukti tradisi lisan menunjukkan bahwa beberapa tokoh ulama dan tetua adat dari Padang Sikabu turut berperan dalam jaringan dakwah Islam di kawasan pesisir barat Aceh.

2. Tradisi Khanduri Hudep dan Nilai Sosial-Religius
Tradisi Khanduri Hudep yang masih lestari hingga kini merupakan bentuk syukur dan doa bersama dalam setiap fase kehidupan masyarakat: kelahiran, sunatan, pernikahan, hingga kematian. Kegiatan ini menunjukkan kesinambungan antara sistem kepercayaan tradisional dan ajaran Islam, yang dikelola melalui musyawarah keluarga dan masyarakat di bawah koordinasi keuchik serta teungku meunasah.

Tradisi tersebut bukan sekadar ritus sosial, melainkan media pendidikan moral dan penguatan kohesi sosial antarwarga.

3. Masuknya Muhammadiyah dan Pembaruan Keagamaan
Gerakan Muhammadiyah mulai dikenal di wilayah Aceh Barat Daya sekitar tahun 1950-an. Pengaruhnya di Padang Sikabu muncul melalui jalur pendidikan dan dakwah, terutama melalui jaringan guru dan alumni dari kota Meulaboh dan Blangpidie.

Kehadiran Muhammadiyah memperkenalkan gaya keislaman rasional dan modern, yang memperkaya pemahaman keagamaan masyarakat tanpa meniadakan nilai-nilai adat. Kini, Muhammadiyah di Kuala Batee berkembang dengan dukungan amal usaha seperti sekolah Islam, kegiatan dakwah, dan keterlibatan sosial di gampong.

4. Kepemimpinan Lokal dan Dinamika Kontemporer
Kepemimpinan keuchik di Padang Sikabu menjadi refleksi dari proses demokratisasi di tingkat desa. Sejak masa Hasbi Is (Pj. Keuchik, 2021) hingga M. Ali (Keuchik definitif, 2022–sekarang), arah pembangunan desa semakin terbuka dan partisipatif.

M. Ali dikenal aktif menggerakkan Koperasi Merah Putih Padang Sikabu dan kegiatan sosial berbasis masyarakat, memperlihatkan kesinambungan nilai gotong royong yang menjadi fondasi masyarakat gampong.

Proses pemilihan keuchik yang demokratis sekaligus menunjukkan keberlanjutan transformasi politik lokal dari sistem tradisional menuju sistem partisipatif modern.

Kesimpulan
Gampong Padang Sikabu memiliki akar sejarah yang kuat sebagai bagian dari Kerajaan Kuala Batee. Nilai-nilai adat dan keislaman yang hidup di masyarakat menunjukkan adanya kesinambungan antara masa lalu dan masa kini.

Transformasi sosial di Padang Sikabu berlangsung secara evolutif—dari pemerintahan kerajaan, masa kolonial, hingga era modern—dengan ciri khas masyarakat yang adaptif terhadap perubahan.

Kehadiran Muhammadiyah serta sistem pemerintahan desa yang demokratis menunjukkan bahwa masyarakat Padang Sikabu mampu mengintegrasikan nilai-nilai tradisi dan modernitas tanpa kehilangan identitas lokalnya.

Daftar Pustaka (Referensi)
Giddens, A. (1990). The Consequences of Modernity. Stanford University Press.
Hurgronje, C. Snouck. (1906). The Achehnese. Leiden: E.J. Brill.
Reid, Anthony. (2005). An Indonesian Frontier: Acehnese and Other Histories of Sumatra. Singapore: NUS Press.
Atjehwatch.com. (2021). Pemkab Abdya Kembali Lantik 33 Pejabat Keuchik.
Readers.id. (2022). M. Ali Terpilih Sebagai Keuchik Padang Sikabu Abdya.
Kanalaceh.com. (2025). Koperasi Merah Putih Padang Sikabu Terpilih Secara Demokratis.
Atjehwatch.com. (2025). Muhammadiyah Abdya Mencoba Garap Buku Sejarah Muhammadiyah di Bumi Breuh Sigupai.
Wawancara lisan dengan tokoh masyarakat Padang Sikabu, Kuala Batee (2024).
Pemerintah Kabupaten Aceh Barat Daya. (2023). Profil Kecamatan Kuala Batee.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar